Rabu, 22 Mei 2013

Ungkapan, Kata, dan Kalimat secara praktis, dalam bahasa dayak KEBAHAN



Pada dasarnya, pengelompokkan kata yang kita gunakan sehari-hari sering kali sama saja artinya atau maknanya sama. Namun kita sering kali menyebutnya berbeda. Antara penyebutan-penyebutan kata atau ungkapan itu, meskipun berbeda itu tidak mengubah dari konsep yang sebenarnya.
Sepeti yang kita ketahui bersama pengertian dari ungkapan itu adalah gabungan kata yang membentuk arti baru di mana tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya. Nama lain ungkapan adalah idiom. Kata merupakan unsur yang sangat penting dalam membangun suatu kalimat. Tanpa kata, tidak mungkin ada kalimat. Setiap kata mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda sesuai dengan kelas kata atau jenisnya. Sebuah kata dapat menyampaikan beberapa pengertian melalui bentukan-bentukannya. Dari satu kata pula, kita dapat membuat atau mengembangkannya menjadi beberapa kata turunan. Dari kata turunan tersebut, kita dapat mengungkapkan satu bahkan beberapa ide/perasaan.Pemekaran kata dengan memberi imbuhan itu pun akan membuat kata-kata tersebut mengalami perubahan jenis atau kelas katanya.
Ungkapan dan kalimat yang sangat praktis tidak hanya didalam bahasa Indonesia yang beragam jenis. Namun juga dalam bahasa daerah banyak kalimat-kalimat yang sangat praktis yang di ungkapkan tanpa sadar oleh kita.
Sebagai contoh dibawah ini merupakan kalimat-kalimat dalam bahasa daerah “Dayak Kebahan” Kalimantan Barat.
·         Kalimat Tanya
No
Bahasa Indonesia
Bahasa Dayak Kebahan
1.
Mau kemana?
-          Nak kemonai?
-          Kemonai?
-          Kemonai kau?
-          Oii kemonai?
-          (Cukup menganggukkan dengan ekspresi tanya)
2.
Apa yang kamu lakukan sekarang?
-          Apai pulah?
-          Agek ngapai kau?
-          Pai keja kau diak?
-          Pai can?

3.
Mau roti?
-          Nak ote?
-          Nak? (Sambil menyodorkan roti)
-          Ngapai? Kau nak?
-          Nah, amek am!
4.
Berangkat kekota dulu
-          Nak kekota lok
-          Angkat kekota
-          Kota
5.
kesini
-          Kotok lok
-          Kotok bah
-          Oi. Kotok
-          Oii... (sambil menggunakan kode tangan memanggil)
6.

-           

Contoh diatas merupakan sebagian dari banyaknya kalimat-kalimat yang dipraktiskan dari bahasa-bahasa dayak kebahan. Seperti yang dicontohkan dari kalimat tanya pertama yaitu “mau kemana?”. Dalam bahasa daerah dayak kebahan pengungkapannya sangat beragam-ragam jenis. Seperti yang dicontohkan, semuanya berarti sama yaitu kalimat tanya “Nak kemonai?” yang diartikan dalam Bahasa Indonesia yaitu mau kemana. Bahasa praktis itu hanya sebagai simbol semata, dan tidak sama sekali mempengaruhi dalam kebahasaan. Agar lebih mudah dan lebih praktis sering kali masyarakat menggunakan kalimat tanya seperti yang dicontohkan diatas.
Dari contoh diatas ada yang menggunakan bahasa kode saja dan itu merupakan kode yang sangat praktis. Yaitu ketika kita bertemu dengan seseorang dan kita bertanya kepadanya tanpa menggunakan salah satupun bahasa atau kata bisa saja kita cukup mengangkat kepala kita sebagai simbol kita sedang menanyakan dia hendak kemana. Namun hal ini sering kali membuat penyimak bertanya apa yang dimaksudkan. Sebagian juga tanpa ditanya dan kita mengeluarkan kata-kata penyimak sudah menjawab. Sebagai contoh
-          Menganggukkan sambil menggunakan simbol bahwa kita bertanya mau kemana seseorang yang kita tanya, dia langsung menjawab “ kekota lok” yang artinya “ke kota dulu”.
Dari contoh ke-3 kalimat tanya yaitu “apakah kamu mau roti?” didalam bahasa Indonesia mungkin saja bahasa praktis pasti banyak sekali ragamnya. Dalam bahasa dayak kebahan kalimat tanya seperti ini diungkapkan dengan bahasa praktisnya seperti yang dicontohkan yaitu “Nak ote?”. Pengungkapan lebih praktis dengan menyebut kata “nak?” sambil menyodorkan roti sudah dapat diterima baik oleh penyimak. Bagitu juga yang di katakan “ngapai? Kau nak?” sama artinya dengan yang pertama yaitu “apakah kamu mau roti?”. Pengungkapan seperti itu sering kali diungkapkan dengan keadaan tidak sadar.
Selain kalimat-kalimat diatas, ada juga kata-kata yang mempunyai maknanya yang sama dan dikelompokkan dalam beberapa macam jenis yang dibeda-bedakan. Sebagai berikut
No
Kata
jenis
Konsep
1.
Padi
a.       Baong, nyemah, pandan, ansa, otom
b.      Ahop, nawai, jonang, buntak, komai, payak, bogop, domong, sengkujam.
Padi/pemakan
2.
Burong
Punai, tekoko, kenciap, pipet, keruak, ngenciap, enggang.
Binatang
3.
Badah
Bakol, ronjong, taken, tengkalang
Alat untuk membawa sesuatu.
4.
sapi
Bali, bangkong, susu
binatang
5.
Manok sobong
Pelipen, serapat, bari
binatang
           
            Dari beberapa contoh diatas. Tampak beberapa contoh penggunaan jenis dan maknanya sama, namun yang membedakannya adalah jenisnya. Yang mana jenisnya itu merupakan kelompok kata yang berbeda arti dan penggunaannya. Seperti pada contoh nomor (1) a. Merupakan jenis tanaman padi yang ditanam di daerah daratan, dari setiap jenis padi berbeda bentuk dan ungkapan. Namun konsep akhirnya merupakan “Beras”.
Lalu yang (1)b. Merupakan jenis padi yang ditanam di daerah perairan, atau dirawa-rawa. Seperti sawah. Jenis padi ini menurut orang tua karena sudah terbukti kebenarannya tidak dapat ditanam di daerah daratan, karena tidak dapat menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tentunya padi yang ditanam didaerah rawa banyak memerlukan atau membutuhkan air yang cukup.
            Pada contoh yang ketiga, jenis wadah yang sering digunakan para ibu rumah tangga dan orang tua dalam pekerjaan sehari-hari juga merupakan bagian dari alat untuk membawa sesutau. Konsep itu sama halnya dengan contoh ke satu berbeda jenis namun konsepnya sama yaitu alat untuk membawa sesuatu sebut saja seperti keranjang.

Minggu, 07 April 2013

Ratapan Duka Kenangan


Suasana di pagi itu, dedaunan melambai-lambai, hembusan angin menusuk-nusuk di kulitku yang kusam sehabis bagun dari mimpiku semalam. Cahaya mentari memancarkan sinarnya yang berwarna merah kelabuan itu menjadikan suasana di pagi itu begitu indah. Suara gemeriak burung menyambut datangnya sang surya.
Ibu berkata dengan pelan “ayo, bergegas mandi, nanti telat berangkat sekolah”.
Dengan tubuh kaku dan secuil kotorang dimata serta rasa malas aku menjawab “iyaa...ibu”
Ku mulai berjalan menuju sumur di dekat rumahku, tanpa pedulikan lagi rasa dingin menyiksaku, ku ambil penimba dan mulai mengisi air kedalam tempat penampungan serta membasahi tubuh, dingin yang tak kunjung berhenti. “Hari ini, aku bertekat menjadikan semuanya berharga di mata ibu,” tanpa berfikir panjang aku bergegas mandi dan mempersiapkan diri melanjutkan kewajibanku sebagai peserta didik untuk menimba ilmu.
Sesampai di sekolah, kelelahan yang belum berhenti bunyi itu telah memanggil dari kejauhan, lonceng sekolahku
“ tiiiiiiinnggg.......tiiiinnnngg.....tiiinnngggg....” tandanya masuk ke lingkungan sekolah dan mempersiapkan diri berjejer pada kelas masing-masing. Aktifitas sebelum masuk sekolah terus kami lakukan setiap hari terkecuali hari minggu dan hari libur, ya apalagi kalau bukan memungut sampah yang berserakan di lingkungan sekolah.
Entah mengapa apabila ada niat baik selalu di ikuti banyak rintangan yang menganggu. Pertama, datang kesekolah tanpa melepaskan kepenatan setelah berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumahku menuju sekolah, lonceng langsung berbunyi seperti sosok seorang raja yang seenaknya memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa memandang serta mempertimbangkan terlebih dahulu keputusan itu. kedua ketika kami beranjak kumpulkan sampah tiba-tiba ada jatuhan ranting kayu mengenai kepalaku, serasa tertimpa muatan 1000 Kg dari atas di karenakan ada teman-teman menertawaiku.
Selesai mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan di karenakan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab membuang sampah sembarangan dan lebih lagi sampah yang mereka buang itu menjadi tanggungan setiap siswa yang tak bersalah. Pelajaran pertama di mulai, bau debu yang tak ku mengerti seperti bau apa itu, menjadikan nafas ini sesak menghirup udara yang tak segar dalam ruangan berangkakan VII B itu, ruangan kelasku suram dan berubah bak bekas pertempuran baru saja berlangsung, dengan suara lantang ku berkata,
 “Siapa yang tidak membersihkan kelas hari ini siap-siap akan di berikan hukuman oleh wali kelas” tindakanku seperti itu pantas aku lantunkan kepada mereka yang tidak bertanggung jawab atas etos kerja yang harus mereka lakukan, dan kebetulan sosok ketua kelas dalam ruangan berangkakan VII B itu saya sendiri. Dengan gerak sembraut aku lekas berlari menghampiri ruangan guru, dengan nafas tersengga-sengga aku berkata kepada guru yang hendak masuk dan mengajarkan mata pelajaran Fisika sekaligus wali kelas kami, dialah Dorkas Jati S. Pd, yang berasal dari pulau seberang yaitu pulau minang berbadan tegap besar, dengan cara mengajar tegas, disiplin, dan anti korupsi itu.
Aku mengatakan “paaappppaaaaakkk”,dengan gagap di akibatkan kelelahan berlari serta hembusan udara yang menguru-guru keluar dari hidungku “teman-teman lagi membersihkan ruangan kelas, jadi di harapkan ketersediaan bapak untuk menunda masuk sekitar 15 menit.” Keputusan bulat itu ku ambil, karena tak mau dalam kelas menjadi bersalah semua atas tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan suara seraknya dia lekas menanggapi dari perkataanku.
“baiklah, jam 07.15 semuanya sudah selesai, dan harapan bapak masuk kelas nanti semuanya sudah rapi dan bersih”.
Dengan suara lembut dan penuh kelelahan setelah berlari aku menjawab “baik pak, saya permisi dulu.”
Tanpa aku beritahu teman-teman, aku telah meminta izin kepada wali kelas untuk menunda jam masuk, aku bertindak secepat-cepatnya dan berkata “dalam waktu 15 menit lagi, wali kelas akan masuk, beliau mengharapkan semua kelas sudah bersih dan rapi jadi perlu kerja sama semuanya untuk membersihkan kelas kita ini.” Dengan perasaan marah dan kesal, teman-teman yang seharusnya piket di hari lain, melanturkan kata kata kesal mereka “yaaaaaaaaaaaaaa, ini semua gara-gara kalian yang tidak piket, semuanya jadi tanggungan kita bersama kan.” Dengan suara sedikit sayu aku berkata,
“ya sudahlah, lakukan apa yang bisa kita lakukan, ini kelas kita, kebersihan dan kerapihan semuanya kita semua yang menjaga”
Hari-hari melelahkan disekolah telah usai dan waktunya istirahat sejenak, memejamkan mata sampai jarum jam menunjukkan pukul 13.00 siang, cucuran keringat yang membasahi  seluruh tubuh, letih bercampur lapar terasa begitu menyiksa, sempat terfikirkan dalam benak “Apakah masih sanggup aku melanjutkan pekerjaan itu” namun semangat melihat senyum manis mama, rasa penat, lapar, mulai terabaikan. Dengan penuh semangat ku datangi sumur yang kumuh itu dan membasuh mukaku dan bergegas makan dan bersegera berangkat melanjutkan pekerjaan.
            Dengan memakai baju lusuh yang tak tercuci 3 hari, sepatu boot Ap dan alat penyadap aku mulai mempersiapkan diri berangkat menuju tempat ibuku bekerja, suara dedaunan saat itu memeriahkan semangatku, langkah besar dan gerakan cepat ku berjalan menyelusuri jalan yang kira-kira selebar 1,5 meter itu seakan-akan terbuka lebar, untuk meluruskan jalanku dan tak mau membuat langkahku tersendat. Girang hati ketika sampai ku panggil dengan kencang “Maaaaaaaaaak,,,” Suara kejauhan nyaring di ucapkan namun kecil kedengaranku dari jauh ibuku menjawab “Iyaaaaa....kamu mulai dari ujung, sebentar lagi selesai”. Tanpa berfikir panjang, dan bertanya lagi aku langsung bergegas mengeluarkan alat penyadap itu, tiap barisan rapi itu mulai meneteskan airnya yang putih bak air susu dengan bercampur kulit sedikit bekas sadapanku membuat semangatku bergejolak. Namun sayang, sadapan di siang hari tak seperti sadapan di pagi hari, airnya tak begitu menetes bak leluncuran air yang tak tersendat sedikitpun. Itulah pekerjaanku sepulang sekolah, membantu ibuku menyadap.
            Hari demi hari bulan demi bulan, sampai juga aku tiba pada tahun di mana aku berinjak di kelas berhuruf IX itu, ya dimana sebentar lagi aku menghadapi UN SMP dengan penuh semangat mengejar kelulusan selalu ada sedikit waktu ku luangkan untuk belajar, cita-citaku menjadi seorang yang berguna di masyarakat kecamatanku menumbuhkan tekat dan minatku, menjadi seorang perawat, itulah cita-citaku. Dengan semangat dan kerja keras, akhirnya aku Lulus dari SMPN 1 Kayan Hilir tempatku belajar 3 tahun itu, tempat menimba ilmu dan menghabiskan masa remaja awalku.
Sampai tibanya aku bersekolah SMA, tak jauh dari rumahku sekolah itu berdiri semenjak 2 tahun sebelum aku lulus dari SMPN 1 Kayan Hilir, itulah SMA tempatku menimba lagi Ilmu-ilmu baru, mendapatkan banyak teman-teman baru dengan memakai baju baru, tak lupa uang jajanpun bertambah baru.
Satu hal yang selalu menjadi fikiranku sampai saat ini, dimana aku duduk di bangku SMA seharusnya ku isi dengan segala prestasi, dengan banyak melihat senyuman dari ibuku, tanpa terduga dengan pergaulan baru, tak mau kalah gengsi, aku mulai meninggalkan tingkah-tingkah baikku, dan merasakan gaya baru yang menurut salah satu temanku menyebutnya gaya “METAL”. Gaya itu membuatku berubah menjadi sosok anak jahil, pemalas, dan royal terhadap uang-uang jajanku, lebih memilih uang itu untuk senang-senang membelikan hal-hal yang tak penting seperti rokok dari pada di isi di perut. Semuanya merubah gaya hidupku, tak ada lagi cara lama yang aku terapkan, tak ada lagi harapan untuk meraih cita-cita, yang ada selalu merasa gagal. Semangat selalu ada namun semangat bukan seperti semangat sewaktu masa SMP, lingkungan mulai membenci gayaku.
            Dunia mulai menampakkan kekerasannya dalam hidupku, setiap hari-hariku penuh dengan nasehat-nasehat yang terabaikan, nasehat-nasehat yang seharusnya terpakai dengan baik, tapi semuanya tak ada sedikitpun ku pakai. Dunia memang keras, kehidupan dalam rumahpun semuanya berubah menjadi keras. Hadirnya ayah baru dalam keluargaku semanjak aku duduk di kelas tiga Sekolah Dasar, aku di tinggalkan ayah kandungku. Hadirnya ayah baru dalam keluarga bukannya membawa sesuatu yang baik, malah membawa keluargaku menjadi semakin berantakan. Sifat pemalas, mengadalkan satu pekerjaan membuatku muak melihat gayanya, tak ada sedikitpun rasa ingin membahagiakan keluargaku dalam hidupnya, akupun tak mengerti jalan fikirannya.
Teringat sewaktu kecil aku membelikan rokok untuknya, hanya karena salah beli rokok yang seharusnya bukan rokok itu, dia mencincang rokok itu dengan sebilah pisau menjadi berkeping-keping. Sungguh tak menghargai usaha orang lain, bukan hanya rokok yang menjadi sasaran kemarahannya. Namun, padi dalam keranjang juga di hamburkannya tepat depan pintu, “Siaaalll” ucapku dalam hati. Padi itu pasti marah kepadanya, sungguh padi itu yang menghidupkan nyawanya sampai sekarang dia hamburkan begitu saja. Tuhan pasti melihat kejadian itu. semenjak kejadian itu aku mulai tak suka melihat tingkah dan kelakuannya, terasa begitu muak rasanya, ibuku meneteskan air matanya melihat padi yang ditumpahkan ayah tiriku di depan pintu, dengan tangan kusam, air mata yang terus meleleh, serta bau keringat yang masih melekat di badan ibu, di raupkannya sedikit demi sedikit padi kedalam keranjang. Aku tak tega melihat air mata ibu menetes, aku tak berani melawan ayah tiriku itu, badannya yang tegap, keluaran dari seni bela diri taekwondo itu mungkin sebutannya, aku hanya bisa diam dan ikut membersihkan sisa-sisa padi yang masih berhamburan. Ayam-ayam berceriak seakan-akan ingin merampas padi-padi itu dari genggaman ibuku, “wuuuussssss” ibuku mengusir ayam-ayam itu.
Sering kali kejadian-kejadian yang di buat ayah tiriku membuat ku kesal, seakan-akan ingin ku ambilkan sebilah pisau dari dapur, dan ku libaskan di badannya. Namun apa daya, diriku takut kepada dosa. Sering juga muncul dalam mimpiku kejadian-kejadian diriku melawan ayah tiri itu, namun itu hanya dalam mimpi. Semenjak masih kecil, aku selalu di remahkan olehnya, tak teranggap dalam hidupnya, sesalku tak mungkin lagi bisa habis. Kejadian ke dua yang masih terngiang-ngiang dalam benakku sampai saat ini, dimana di saat ayah tiriku melontarkan kata-kata kasar kepadaku “pergi kau dari rumah ini...!!!” ya Tuhan, aku menangis dalam hati,
“tidakkah kau mendengar hambamu itu melontarkan kata-kata itu, seakan-akan dia yang berkuasa di negerimu ini Tuhan” ucapku dalam hati sambil pergi mendekati rumah nenekku tepat di depan rumahku, aku melelehkan air mata kesedihan, dengan gerakan semboyongan aku menghampiri dan memeluk nenek sambil mengeluhkan kesedihannku.
 “Nek, om mengusirku dari rumah....”
nenekku terkejut, segeralah dia melepaskan pelukanku saat itu dan berjalan mengampiri rumahku, entah apa yang dikatakan nenek kepada ayah tiri yang aku panggil “om” saat itu, lalu ayah tiriku pergi meninggalkan rumah yang di tinggalkan oleh ayah kandungku itu. relaian air mataku, rasa kesal, marah dan benciku tak kunjung padam hingga mata sayu tidurpun melupankan segalanya. Kejadian itu cukup menjadi kenangan pahit dalam hidupku, dan itu menjadi motivasi hidupku untuk tidak melakukan dan melontarkan kata-kata itu kepada siapa saja kelak.
Setelah beberapa tahun bergulir dalam kesehariannku, hidup selelu di ambang kesesatan, tingkah aneh selalu ada yang di lakukan sehari-hari. Kelakuan yang buruk seakan-akan tak mau pergi dari kehidupanku semasa SMA, mulai dari bolos, nongkrong, bahkan minum-minuman selalu hadir tak pernah alpa dalam buku absen hidupku saat itu, ocehan-ocehan, sindiran hangatnya ditelinga tak ku pedulikan. Aku bahagia karena aku bisa senyum dari pada aku terus menangis. Ya, merekalah teman-temanku pitong, doben, sesa, nonok panggilan sehari-hari mereka itu, membuatku mengerti akan arti hidup ini, menghabiskan waktu bersama, menghadapi kekerasan dunia, menerpa badai kekejaman, melawan jutaan perompak yang ingin merampas hidup. Aku masih ingat, pitong yang keinginannya keras menjadi orang nomor satu dijagat raya, nonok ingin menjadi orang kaya nomor satu di dunia, doben yang ingin menjadi orang ilmuan, sesa yang ingin merancang kehidupan ini jadi lebih baik, dan aku menjadi penghancur orang-orang jahat seperti wiro sableng mejadi kekuatan kami dalam menjalani hidup keras.
Dalam kegilaan-kegilaan yang sering kami buat selalu menimbulkan dampak negatif dalam hidup kami sehari-hari, mulai dari pergi ke kota setiap malam minggu menghabiskan uang ratusan ribu, merusaki motor gara-gara jatuh, sampai hampir mencelakai anak orang lain, akibat ulah si orang nomor satu di jagat raya “pitong”. Dia meninju anak cina tepat dibagian kepala si anak cina itu, diakibatkan pencemaran nama baiknya oleh si anak cina itu, dengan beberapa kali pukulan saat itu membuat kepala si anak cina itu oleng dan terpaksa di larikan ke RSUD kabupaten oleh keluarganya, urusan itupun tak hanya sampai disitu, dari pihak keluarga si cina itupun menuntut dari pihak pitong ke meja hijau. Namun kekuatan berada di pihak kami, pencemaran nama baik adalah bukti yang kuat dalalm masalah ini, pencemaran nama baik yang di kirimkan melalui pesan singkat (SMS) itu menjadikan bukti yang membuat mereka tak berani berbuat apa-apa, akhirnya masalah inipun terselesaikan melalui musyawarah keluarga keduadua belah pihak.
Entah mengapa, semenjak kejadian yang menggemparkan saat itu, orang-orang menjadi segan terhadap kami, terutama bocah-bocah junior SMA, mereka semua diam melihat kegilaan kami, tak cukup hanya di situ, cerita kegilaanpun muncul kembali pada saat pelajaran matematika di kelas XII IPA kami. Bermunculan dari ide si bocah gendut Andi, mengajak kami untuk menrokok di dalam kelas saat pelajaran berlangsung dan pada saat itu guru matematikanya sedang berada di kantor, namun tak terduga, tiba-tiba bunyi sura pintu “ngeeeeeet” perlahan dengan ditahan sedikit kerikil, membuat suasana mencekam,sedikit demi sedikit pintu terbuka dan gembulan asap ridalam ruangan menjadikan suasana tambah menegangkan, semuanya sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak satupun memperdulikan apa yang bakal terjadi, dengan lirikan dan sepetu hitam mulai kelihatan, “paaaaaaap” pintu mengenai dinding, suasana menjadi tegang dan semua teman-teman yang merokok mukapun terpana dengan kesalahan, “semuanya ikut kekantor...!!!, kecuali yang tidak ikut merokok.” Ucap guru matematika kecil sekitar 160 cm itu, semuanya saling menyalahkan, ribut dalam kelaspun tak terkendali, para wanita-wanita mengejek “siapa suruh merokok dalam kelas” ujar salah satu wanita yang bernama ita.
Saat menghadap kekantor, kemahasiswaanpun menghampiri kami, kami 12 yang tertangkap basah merokok saat jam pelajaran itu semua pasrah dengan keputusan yang dilimpahkan kepada kami asal jangan di keluarkan saja. Lalu dia memberikan hukuman kami semua yang berjumlah 12 kepala di karantina di sekolah, semuanya sepakat.
Sore hari, kami bergegas hukuman sudah di mulai, tenda, alat makan, alat masak, semua peralatan untuk menginap kami bawa, dan mulai mengerjakan hukuman pertama.
Malam hari, sesudah maghrib dan berkemas kami di panggil menggunakan lonceng besar bekas felk truk itu “tiiinng......tiiiinnnggg.....” suara itu memanggil bak apel di hari senin, namun keadaan saat itu malam, gelap, hanya di terangi lampu minyak tanah dalam tenda saat itu, kami bergegas dan segera membereskan semua yang ada dalam tenda. Saat itu, seorang guru yang berhasil tamatan dari malang, dan saya dengar-dengar mantan kepala sebut saja MENWA (tentara kampus) memanggil dari kejauhan, dengan suara lantang memanggil, “Wooooooooiiiii, langkahnya di percepat” tanpa memperdulikan sendal bergegas kami berlari menghampiri tepat didepan lapangan menghadap ke barat. Semua terdiam, seakan-akan ada tugas yang amat berat yang akan kami tempuh malam itu. tak salah lagi dugaanku, kami 12 yang terjaring, disuruhnya merayap sampai menuju lapangan voly berjarak kira-kira 25 meter. Dengan pasrah kami menjalani hukuman pertama, tanpa memperdulikan kerikil, kotoran debu-debu kuning yang ada, suasana malam mencekam, kami seolah-olah bak prajurit tentara yang membawa senjata, melalui lembah, dengan gerakan cepat. “aawwwwww” teriak salah satu temanku, Andi yang besar dan gendut itu, terkena salah satu kerikil tepat pada bagian lengannya, dia berkata “aku tak mampu menjalani hukuman seperti ini” lalu dia memohon ijin untuk tidak melalui hukuman pertama itu, dia tak sanggup, dengan perasaan kasihan lalu dia langsung di suruh pak guru mantan menwa itu duluan berjalan menghampiri lapangan voli dan duduk. “kenapa kalian berhenti, lanjutkan!!!” ucap guru itu, tanpa memperdulikan lagi si andi, kamipun langsung melanjutkan hukuman itu. setelah sampai kami disuruh istirahat sejenak melepas kepenatan. Keringat, kotor, bau amis tubuh tak ku pedulikan lagi. Lalu sosok guru mantan menwa itu memberikan ceramah kepada kami, dengan diam tak satupun yang berani berbicara diantara kami ber12 itu, cukup mendengar saja. Karena kelelahan dan kurang lebih 2 jam duduk, kaku kakipun tak bisa di elak lagi, akibat banyak duduk bersila tanpa di gerakkan kakikupun kaku, saat berdiri, aku merasa ada yang hilang dipersendian kakiku, serasa ingin nangis, kenapa kaki tidak terasa lagi. Dengan gerakan pincang dan kesakitan aku terjatuh seolah-olah tak ada lagi penopang kaki sebelah kananku, dengan sigap guru mantan menwa sebutan pak paul menangkapku, dan segera menjamahi dan meluruskan kakiku, perlahan rasa kaku itu mulai hilang, pak paul berkata “kalau duduk bersila, jangan lupa kakinya di gerak-gerakkan, biar tidak kaku seperti ini, pelajaran bagiku.
Malam kedua, kami kekurangan pasukan entah karena tertembak atau pergi, dan kami tersisa 11 orang, siapa lagi kalau bukan si Andi itu, dia pergi dari lingkaran pasukan anak-anak edan seperti kami, kamipun tak mengerti apa yang menyebabkan anak itu pergi entah kemana, “jelas, sekarang kalian sudah tinggal sebelas, tadi ibu si andi datang dan menjemput anaknya dari lingkaran kalian” kata pak paul. Suasana di dalam ruangan menjadi kaku kembali, “malam ini, kalian akan diberikan pencerahan, renungan, agar kalian bisa memaknai hidup” pak paul menyambung kata-katanya yang tadi. Dengan ditemani lilin empat kami berada di dalam ruangan kelas yang berangkakan sepuluh B pada saat itu, lilin di matikan merubah suasana bak di tak ada penerangan sedikitpun, semua tempat masuk cahaya tertutup oleh beberapa dinding penghalang, kami membentuk lingkaran dengan berpegangan tangan. Tepat pukul 20.00 WIB saat itu hanya terdengar bunyi-bunyi jangkrik dan suara kodok entah dimana tak jelas suaranya, malam yang gelap kala itu menjadikan suasana yang pas menyadarkan kami semua dari kebodohan, kegilaan yang kami buat berdampak positif bagi kehidupan masa datang. Terdengar bunyi jam tanganku berdetak bak suara-suara jantung yang sedang damai, “teeek .... teeek.... tek....” ku hidupkan lampu jamtanganku berwarna hijau dan menunjukkan pukul 21.07 WIB tepat malam jum’at kala itu, dengan posisi berdiri kami membentuk lingkaran kata perkata yang di lontarkan pak paul, tiba sampai pada titik pencerahan yang sebenarnya.
“Viktor (pitong),,,,kamu tahu, ayahmu setiap jam empat subuh, selalu menyadap karet sebelum mengajar jam tujuh..?? ibumu setiap jam tiga subuh selalu bangun dan mempersiapkan apa yang harus di persiapkan untuk jualan setiap pagi, sedangkan kamu sedang tidur pulas, seenaknya kamu....”
Kata pak paul dan mulai menghampiriku, pitongpun mulai mengeluarkan suara mendengu, “ku rasa pitong menangis” bisikku dalam hati, tak pernah ku duga suara kotoran yang keluar dari hidungnya seakan akan dia menyesali tingkahnya selama ini. “took” bunyi langkah pak paul melangkah ke arahku kebetulan aku tepat disampiang kanan pitong saat itu.
“anto dengan melekatkan tangannya ke pundakku, apa kamu tidak melihat kegigihan ibumu menyekolahkanmu, merawatmu dari kecil, menanamkan nilai moral kepadamu, ingat!!! Ibumu disana pasti sangat menyesali perbuatanmu, dia pasti kecewa, dengan tingkahmu”.
Kata pak paul menyadarkanku, entah mengapa kesadaran itu tak kunjung membuatku sedih, tak sedikitpun air mataku menetes pada saat itu, tidak seperti teman-teman lain, yang meneteskan air matanya, seakan-akan air mataku tertahan, ada bisikan bahwa aku tidak boleh menangis kalau tetap melakukan hal yang sama percuma saja menangis saat ini, karena menangis bukan sesuatu yang bisa menenangkan, pada saat itu akupun merasa bersalah kepada diri ini, aku merasa tak lengkap teman-temanku menangis semua, sedangkan aku hanya diam.
Suasana berubah menjadi pilu kala itu, semuanya mengeluarkan air mata penyesalan dan tak termasuk aku.
            Pagi sebelum jam masuk sekolah kami diwajibkan membersihkan lingkungan sekolah, menjadi ajudan sekolah. Senangnya hati kami, kami selalu dipercaya menjaga dan merawat sekolah, saat itu guru tak lagi repot-repot merajia anak-anak yang masih nongkrong di kantin saat jam masuk di mulai, kami selalu siap menjalani tugas harian kami.
Kepercayaan gurupun mulai timbul, guru-guru bisa lagi tersenyum. Mungkin mereka merasa ada yang menjadi pahlawan sekolah kita sekarang, dan sekolah kita akan tertib kembali, dengan kepala gundul dengan tinggi rambut kira-kira 2 cm kami sebelas bak prajurit di masa 45 dan siap membasmi para penjahat yang ingin menguasai daerah kepulauan Indonesia, ya kepulauan SMAN 1 Kayan Hilir, begitu maksudku.
Tak terasa, 7 hari yang seharusnya kami menjalani hukuman, namun pada sore hari, pak paul kembali memukul lonceng yang bobotnya sekita 20 kg itu “tinnng..... ttiiiing.....tingg....” tandanya memanggil dan menyuruh kami berbaris menghadapnya ke barat. Dia mengumumkan, “karena kelakuan kalian sudah berubah, maka hukuman kalian yang seharusnya 1 minggu bapak kurangi menjadi sampai hari ini saja, dan kalian boleh berkemas-kemas pulang kerumah masing-masing, dan ingat!!! Lakukan perubahan sekaran., silahkan!!!” katanya. Dengan perasaan girang kamipun berteriak
“woooooooooooooooooowwwwww woooooowwww, hahahahahaha”
Aku mengucapkan “terima kasih pak” dan di ikuti dengan ciuman tangan. Serasa bebas dari tahanan 10 tahun, dan aku akan kembali menghirup udara bebas begitu juga teman-teman yang lain ku rasa. Amin fikirku dalam hati.
Setelah keluar dari hukuman, tingkah kamipun 100% berubah, dari yang dulunya nakal, hura-hura, menjengkelkan, sekarang berubah drastis, pak paul senang dengan perubahan kami, dia bangga mempunyai kami, begitulah kata-katanya yang masih ku ingat sampai saat ini. Namun lama laun, kelakuanpun menjadi kembali tak normal, sebagian dari teman-teman yang tertengkap basak kala itu mulai menjadi sosok orang yang tak baik lagi, mereka kembali ke kehidupan mereka yang dulu, “sungguh, air mata buaya” terbisik dalam hatiku, hanya kami berlima sahabatku yang tetap pada posisi dan lingkaran sadar, kami berusaha menyadarkan teman-teman yang kembali ke jalan yang tidak baik itu, namun apa daya tangan tak sampai. Cukup saja kami sebagai teman menyadarkannya, kesadaran yang sebenarnya terletak di diri mereka masing-masing.
Kejadian itu berdampak baik bagi kehidupanku, selesai SMA saat itu, aku tak niat ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, alasanku hanya satu “masih capek gara-gara selesai SMA, mau cari uang dulu dan tidak mengandalkan penghasilan orang tua untuk masuk ke perguruan tinggi”. Apapun aku lakukan asal bisa menghasilkan uang, sebut saja ikut kerja mencari mas di tempat paman, belajar sekaligus membantu paman bertukang membuat rumah nenek kedua, ikut mengukur jalan dari kecamatanku ke kecamatan sebelah tanpa seikitpun aku takut panas menyengat kulitku yang tipis ini. Semuanya aku lakukan demi cita-citaku, namun apa daya nasipku berkata lain, cita-citaku menjadi seorang perawat tak kesampaian, dikarenakan danaku saat itu kurang pada tahun 2010 dan aku memutuskan untuk menunggu 1 tahun lagi. Keputusan terakhir saat menginjak dekat-dekat pendaftaran mahasiswa baru tahun angkatan 2011 aku berniat menuntut ilmu kenegeri seberang, dimana tempat perguruan tinggi itu terletak di pulau jawa tepat di Jawa Timur kota Malang. Ya tepat pada Universitas Kanjuruhan Malang, sebut saja UNIKAMA disitulah guru yang bernama pak paul tadi menempuh pendidikan di perguaruan tinggi. Aku berniat mengikuti jejak langkahnya.
            Jarak aku antara antara teman-temanku sangat jauh, pitong dan doben berada di ibu kota apalagi kalau bukan Jakarta, sedangkan temanku sesa melanjutkan sekolah di kota Kabupaten kami, dan si nonok yang ingin kaya di dunia itu sekarang sudah membuka usaha kecil-kecilan dengan bermodalkan pengalamannya dan mimpinya dia sekarang di kenal di kampungnya. Sebenarnya dia juga melanjutkan ke perguruan tinggi, namun cita-citanya terhenti di akibatkan ada kecelakaan karena kebodohannya di masa-masa sebelum berangkat menginjak bangku kuliah.
Jarak ribuan kilometer, hanya berkomunikasi lewat gelombang suara ditelepon genggam (HP) kami sering bercerita, menyampaikan keluh kesah, selama berada di malang dan menuntut ilmu, tak ada satupun sahabat yang setia seperti teman-temanku berempat itu, setia di saat dan dalam kondisi apapun, senang susah, sedih kami jalani bersama. Yang ada teman hanya ingin dipihak kita di saat kita senang-senang saja dan tak lagi berada di pihak kita saat sedih, mereka tek akan pernah terbantikan, wajah-wajah yang terkenal di sekolah saat itu, bahkan di masyarakat juga mengenal kami karena keburukan tingak kami dahulu, tak lagi bisa aku lihat, hanya dapat mendengar suara mereka dari telepon genggam dan pesan singkat (SMS) saja.
            Mengingat akan hal itu, membuatku menjadi sedih. Tak lagi kami bisa melepas kerinduan disaat rindu seperti ini. Biasanya kami selalu tertawa bersama, nakal bersama. Namun, semua itu masa lalu yang tak akan mungkin lagi terulang, cukup menjadi cerita terindah dan mungkin tak akan ku ceritakan kepada anak-anakku kelak, aku takut cerita itu berdampak buruk bagi anak-anakku kelak.
            Disela kesibukan-kesibukan kuliahku, rintangan silih berganti. Dari hal kecil sampai rintangan yang begitu besar bak lautan luas yang harus ku seberangi dengan bermodalkan pelampung mungil dengan menerobos segala ikan-ikan paus yang siap menerkam badanku yang mungil kapan saja. Namun rintangan seperti itu selalu ku hadapi, walau dompet tinggal seribu.
            Pintu sudah terbuka untukku meraih kesuksesan, tapi mengapa begitu sulit jalan menuju pintu itu, selain penghalang, dari segi materi sering kali membuat air mataku menetes berderai. Masih ingat pada masa kecil, ayah kandungku selalu memberikan apapun kemauanku, tapi masa itu terlalu cepat berlalu. Masa di mana aku merasa bahagia dengan keluarga, riang wajah ibuku selalu menemani hari-hariku yang kini semuanya telah musna. “ini semua gara-gara ayah kandungku mencari istri baru” teganya dirimu membuat anandamu ini merasakan kepedihan di- perantauan. Meskipun aku tak mempunyai lagi sosok orang yang selalu memperhatikanku, setidaknya Ibuku lebih hebat dari padanya, ibu yang selalu ada di saatku bersedih dan mengeluh kesahku.
            Rasa ketidakpuasan itu merasuki ayah kandungku semenjak aku berumur empat tahun, masih ingat kala itu, ibu yang selalu mengayomiku kemanapun ayahku pergi, tak banyak kata dia selalu senyum bak tak ada beban dalam hati dan fikirannya, truk biru berbak besi biru nampak agak kusam itu selalu di kendarai ayahku kemanapun dia pergi kala itu. karena resah ibu selalu mengikuti kemanapun ayahku pergi.
            Sungguh tak sedikitpun menghargai kerja keras ibunda, ayah selalu saja seenaknya kemanapun, sering ibu menemukan surat cinta dalam laci truk terletak bagian atas dekat spion truk itu, apalagi kalau bukan surat cinta dengan selingkuhannya. Saat membaca ibu hanya diam dan meneteskan air mata kesedihannya. Entah apa saja isi dalam kertas-kertas berwana-warni itu, aku tak mengerti. Tanpa ketahuan oleh ayah ibuku menyimpan baik-baik selembar demi selembar dilipat rapi seolah-olah tak pernah ketahuan kalau surat-surat itu telah ibu baca.
            Setelah beberapa tahun selang kejadian itu, karena merasa tak mampu lagi dengan tingkah bodoh ayahku, ibu mulai mersa bosan dan melaporkan kejadian-kejadian yang sering di alaminya kepada kakek, aku hanya dapat mendengar bisikan-bisikan dalam ruangan sunyi malam, tanpa aku bisa artikan percakapan ibu bersama kakek.
Tanpa mengulur-ulur waktu, siangnya kakekpun memanggil beberapa para pakar hukum adat di daerahku kala itu, sebut saja para temenggung. Setelah ayah datang dari kerjanya di temani truk biru yang kusam itu, segeralah kakek memanggil ayahku dari kejauhan rumah kakek dengan rumahku, “toooo, kau kesini dulu” begitu ku dengar, kulihat muka kusut dengan sangat malas ayah menjawab “iya pak, sebentar lagi aku ke situ”. Entah apa yang dilakukan oleh kakek, dan para temenggung-temenggung pada siang hari itu, aku tak melihat dan mendengarkan karena kesibukanku bermain. Seketika itu ayah mengusap pundakku dan berkata “kamu baik-baik ya to di sini, nanti ayah sering main-main lagi kesini” dengan muka murung dia mengatakan hal itu kepadaku tanpa alasan yang tak ku ketahui ayah meninggalkanku. Dengan tangis mendengu-dengu aku tak ingin melepaskan tangan ayah “ayah.....ayah....ayah mau kemana? Aku ikut ayah....ayah kemana?” namun ayah tak menjawab pertanyaanku segera dia meleparkan jaket kulitnya yang berwarna hitam agak lusuh itu kedalam truk dan di hidupkannya mesin truk itu, tanpa memperdulikanku dia segera membelokkan truk ke arah jalan. Ku melihat air mata yang menetes saat ayah pergi, rasa penyesalanya membawanya pergi, genggaman ibu tak kuat ku lepas, dengan tangisan dariku dan ibu ku lepaskan ayah pergi membawa sejuta kenangan yang selalu ku ingat.
            “Bu.....buuu, ayah mau kemana? Kenapa ayah meninggalkanku?, aku mau ikut mobil ayah” begitu ucapku kepada ibu sambil mengeluarkan air mata yang tak henti dan penyesalan kepada ayah yang meninggalkanku bersama ibu.
            Kejadian itu selalu ku kenang sampai kapanpun, sering ayah mengajakku bersamanya dengan di iming-imingi sebuah sepeda, namun semua itu tak membuat hatiku luluh begitu saja, rasa sesalku kepada ayah yang meninggalkanku dan ibu saat itu.
            Sampai saat ini, ayah selalu menanyakan kabarku, dan bagaimana kuliahku, serta tak henti-hentinya mengajariku arti hidup. Entah mengapa kata-katanya jarang ku percaya dan ku pakai dalam kehidupanku sampai saat ini, pernah dia berjanji akan membelikan aku motor pada saat aku SMA, namun kenyataannya tak ada, jangankan motor uangpun tak ada sampai di genggamanku kala itu. tidak bertanggung jawab. Sifat yang harusku jauh-jauhi dari kehidupanku.
            Mengenang semua itu, teriris hati. Sayatan yang masih membekas dalam hati ini tak kunjung sembuh sudah beberapa tahun lamanya, kepiluan, sesal semuanya sudah menjadi-jadi dalam darah dan dagingku.

Dipersembahkan Untuk : Mama, dan Sahabat