Suasana di pagi
itu, dedaunan melambai-lambai, hembusan angin menusuk-nusuk di kulitku yang
kusam sehabis bagun dari mimpiku semalam. Cahaya mentari memancarkan sinarnya
yang berwarna merah kelabuan itu menjadikan suasana di pagi itu begitu indah.
Suara gemeriak burung menyambut datangnya sang surya.
Ibu berkata dengan pelan “ayo, bergegas mandi,
nanti telat berangkat sekolah”.
Dengan tubuh kaku dan secuil kotorang dimata serta
rasa malas aku menjawab “iyaa...ibu”
Ku mulai berjalan menuju sumur di dekat rumahku,
tanpa pedulikan lagi rasa dingin menyiksaku, ku ambil penimba dan mulai mengisi
air kedalam tempat penampungan serta membasahi tubuh, dingin yang tak kunjung
berhenti. “Hari ini, aku bertekat menjadikan semuanya berharga di mata ibu,”
tanpa berfikir panjang aku bergegas mandi dan mempersiapkan diri melanjutkan
kewajibanku sebagai peserta didik untuk menimba ilmu.
Sesampai di sekolah, kelelahan yang belum berhenti
bunyi itu telah memanggil dari kejauhan, lonceng sekolahku
“ tiiiiiiinnggg.......tiiiinnnngg.....tiiinnngggg....”
tandanya masuk ke lingkungan sekolah dan mempersiapkan diri berjejer pada kelas
masing-masing. Aktifitas sebelum masuk sekolah terus kami lakukan setiap hari
terkecuali hari minggu dan hari libur, ya apalagi kalau bukan memungut sampah
yang berserakan di lingkungan sekolah.
Entah mengapa apabila ada niat baik selalu di ikuti
banyak rintangan yang menganggu. Pertama, datang kesekolah tanpa melepaskan
kepenatan setelah berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumahku menuju
sekolah, lonceng langsung berbunyi seperti sosok seorang raja yang seenaknya
memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa memandang
serta mempertimbangkan terlebih dahulu keputusan itu. kedua ketika kami
beranjak kumpulkan sampah tiba-tiba ada jatuhan ranting kayu mengenai kepalaku,
serasa tertimpa muatan 1000 Kg dari atas di karenakan ada teman-teman
menertawaiku.
Selesai mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan
di karenakan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab membuang sampah sembarangan
dan lebih lagi sampah yang mereka buang itu menjadi tanggungan setiap siswa
yang tak bersalah. Pelajaran pertama di mulai, bau debu yang tak ku mengerti
seperti bau apa itu, menjadikan nafas ini sesak menghirup udara yang tak segar
dalam ruangan berangkakan VII B itu, ruangan kelasku suram dan berubah bak
bekas pertempuran baru saja berlangsung, dengan suara lantang ku berkata,
“Siapa yang
tidak membersihkan kelas hari ini siap-siap akan di berikan hukuman oleh wali
kelas” tindakanku seperti itu pantas aku lantunkan kepada mereka yang tidak
bertanggung jawab atas etos kerja yang harus mereka lakukan, dan kebetulan
sosok ketua kelas dalam ruangan berangkakan VII B itu saya sendiri. Dengan
gerak sembraut aku lekas berlari menghampiri ruangan guru, dengan nafas
tersengga-sengga aku berkata kepada guru yang hendak masuk dan mengajarkan mata
pelajaran Fisika sekaligus wali kelas kami, dialah Dorkas Jati S. Pd, yang
berasal dari pulau seberang yaitu pulau minang berbadan tegap besar, dengan
cara mengajar tegas, disiplin, dan anti korupsi itu.
Aku mengatakan “paaappppaaaaakkk”,dengan
gagap di akibatkan kelelahan berlari serta hembusan udara yang menguru-guru
keluar dari hidungku “teman-teman lagi
membersihkan ruangan kelas, jadi di harapkan ketersediaan bapak untuk menunda
masuk sekitar 15 menit.” Keputusan bulat itu ku ambil, karena tak mau dalam
kelas menjadi bersalah semua atas tindakan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Dengan suara seraknya dia lekas menanggapi dari perkataanku.
“baiklah,
jam 07.15 semuanya sudah selesai, dan harapan bapak masuk kelas nanti semuanya
sudah rapi dan bersih”.
Dengan suara lembut dan penuh kelelahan setelah
berlari aku menjawab “baik pak, saya
permisi dulu.”
Tanpa aku beritahu teman-teman, aku telah meminta
izin kepada wali kelas untuk menunda jam masuk, aku bertindak secepat-cepatnya
dan berkata “dalam waktu 15 menit lagi, wali kelas akan masuk, beliau
mengharapkan semua kelas sudah bersih dan rapi jadi perlu kerja sama semuanya
untuk membersihkan kelas kita ini.” Dengan perasaan marah dan kesal,
teman-teman yang seharusnya piket di hari lain, melanturkan kata kata kesal
mereka “yaaaaaaaaaaaaaa, ini semua
gara-gara kalian yang tidak piket, semuanya jadi tanggungan kita bersama kan.”
Dengan suara sedikit sayu aku berkata,
“ya
sudahlah, lakukan apa yang bisa kita lakukan, ini kelas kita, kebersihan dan
kerapihan semuanya kita semua yang menjaga”
Hari-hari melelahkan disekolah telah usai dan
waktunya istirahat sejenak, memejamkan mata sampai jarum jam menunjukkan pukul
13.00 siang, cucuran keringat yang
membasahi seluruh tubuh, letih
bercampur lapar terasa begitu menyiksa, sempat terfikirkan dalam benak “Apakah masih sanggup aku melanjutkan
pekerjaan itu” namun semangat melihat senyum manis mama, rasa penat, lapar,
mulai terabaikan. Dengan penuh semangat ku datangi sumur yang kumuh itu dan
membasuh mukaku dan bergegas makan dan bersegera berangkat melanjutkan
pekerjaan.
Dengan memakai baju lusuh yang tak
tercuci 3 hari, sepatu boot Ap dan alat penyadap aku mulai mempersiapkan diri
berangkat menuju tempat ibuku
bekerja, suara dedaunan saat itu memeriahkan semangatku, langkah besar dan
gerakan cepat ku berjalan menyelusuri jalan yang kira-kira selebar 1,5 meter
itu seakan-akan terbuka lebar, untuk meluruskan jalanku dan tak mau membuat
langkahku tersendat. Girang hati ketika sampai ku panggil dengan kencang
“Maaaaaaaaaak,,,” Suara kejauhan nyaring di ucapkan namun kecil kedengaranku
dari jauh ibuku menjawab “Iyaaaaa....kamu
mulai dari ujung, sebentar lagi selesai”. Tanpa berfikir panjang, dan
bertanya lagi aku langsung bergegas mengeluarkan alat penyadap itu, tiap
barisan rapi itu mulai meneteskan airnya yang putih bak air susu dengan
bercampur kulit sedikit bekas sadapanku membuat semangatku bergejolak. Namun
sayang, sadapan di siang hari tak seperti sadapan di pagi hari, airnya tak
begitu menetes bak leluncuran air yang tak tersendat sedikitpun. Itulah
pekerjaanku sepulang sekolah, membantu ibuku menyadap.
Hari
demi hari bulan demi bulan, sampai juga aku tiba pada tahun di mana aku
berinjak di kelas berhuruf IX itu, ya dimana sebentar lagi aku menghadapi UN
SMP dengan penuh semangat mengejar kelulusan selalu ada sedikit waktu ku
luangkan untuk belajar, cita-citaku menjadi seorang yang berguna di masyarakat
kecamatanku menumbuhkan tekat dan minatku, menjadi seorang perawat, itulah
cita-citaku. Dengan semangat dan kerja keras, akhirnya aku Lulus dari SMPN 1
Kayan Hilir tempatku belajar 3 tahun itu, tempat menimba ilmu dan menghabiskan
masa remaja awalku.
Sampai tibanya aku bersekolah SMA, tak jauh dari
rumahku sekolah itu berdiri semenjak 2 tahun sebelum aku lulus dari SMPN 1
Kayan Hilir, itulah SMA tempatku menimba lagi Ilmu-ilmu baru, mendapatkan
banyak teman-teman baru dengan memakai baju baru, tak lupa uang jajanpun bertambah
baru.
Satu hal yang selalu menjadi fikiranku sampai saat
ini, dimana aku duduk di bangku SMA seharusnya ku isi dengan segala prestasi,
dengan banyak melihat senyuman dari ibuku, tanpa terduga dengan pergaulan baru,
tak mau kalah gengsi, aku mulai meninggalkan tingkah-tingkah baikku, dan
merasakan gaya baru yang menurut salah satu temanku menyebutnya gaya “METAL”.
Gaya itu membuatku berubah menjadi sosok anak jahil, pemalas, dan royal
terhadap uang-uang jajanku, lebih memilih uang itu untuk senang-senang
membelikan hal-hal yang tak penting seperti rokok dari pada di isi di perut.
Semuanya merubah gaya hidupku, tak ada lagi cara lama yang aku terapkan, tak
ada lagi harapan untuk meraih cita-cita, yang ada selalu merasa gagal. Semangat
selalu ada namun semangat bukan seperti semangat sewaktu masa SMP, lingkungan
mulai membenci gayaku.
Dunia
mulai menampakkan kekerasannya dalam hidupku, setiap hari-hariku penuh dengan
nasehat-nasehat yang terabaikan, nasehat-nasehat yang seharusnya terpakai
dengan baik, tapi semuanya tak ada sedikitpun ku pakai. Dunia memang keras,
kehidupan dalam rumahpun semuanya berubah menjadi keras. Hadirnya ayah baru
dalam keluargaku semanjak aku duduk di kelas tiga Sekolah Dasar, aku di
tinggalkan ayah kandungku. Hadirnya ayah baru dalam keluarga bukannya membawa
sesuatu yang baik, malah membawa keluargaku menjadi semakin berantakan. Sifat
pemalas, mengadalkan satu pekerjaan membuatku muak melihat gayanya, tak ada
sedikitpun rasa ingin membahagiakan keluargaku dalam hidupnya, akupun tak
mengerti jalan fikirannya.
Teringat sewaktu kecil aku membelikan rokok
untuknya, hanya karena salah beli rokok yang seharusnya bukan rokok itu, dia
mencincang rokok itu dengan sebilah pisau menjadi berkeping-keping. Sungguh tak
menghargai usaha orang lain, bukan hanya rokok yang menjadi sasaran
kemarahannya. Namun, padi dalam keranjang juga di hamburkannya tepat depan
pintu, “Siaaalll” ucapku dalam hati. Padi itu pasti marah kepadanya, sungguh
padi itu yang menghidupkan nyawanya sampai sekarang dia hamburkan begitu saja.
Tuhan pasti melihat kejadian itu. semenjak kejadian itu aku mulai tak suka
melihat tingkah dan kelakuannya, terasa begitu muak rasanya, ibuku meneteskan
air matanya melihat padi yang ditumpahkan ayah tiriku di depan pintu, dengan
tangan kusam, air mata yang terus meleleh, serta bau keringat yang masih
melekat di badan ibu, di raupkannya sedikit demi sedikit padi kedalam
keranjang. Aku tak tega melihat air mata ibu menetes, aku tak berani melawan
ayah tiriku itu, badannya yang tegap, keluaran dari seni bela diri taekwondo
itu mungkin sebutannya, aku hanya bisa diam dan ikut membersihkan sisa-sisa
padi yang masih berhamburan. Ayam-ayam berceriak seakan-akan ingin merampas
padi-padi itu dari genggaman ibuku, “wuuuussssss” ibuku mengusir ayam-ayam itu.
Sering kali kejadian-kejadian yang di buat ayah
tiriku membuat ku kesal, seakan-akan ingin ku ambilkan sebilah pisau dari
dapur, dan ku libaskan di badannya. Namun apa daya, diriku takut kepada dosa.
Sering juga muncul dalam mimpiku kejadian-kejadian diriku melawan ayah tiri
itu, namun itu hanya dalam mimpi. Semenjak masih kecil, aku selalu di remahkan
olehnya, tak teranggap dalam hidupnya, sesalku tak mungkin lagi bisa habis.
Kejadian ke dua yang masih terngiang-ngiang dalam benakku sampai saat ini,
dimana di saat ayah tiriku melontarkan kata-kata kasar kepadaku “pergi kau dari rumah ini...!!!” ya
Tuhan, aku menangis dalam hati,
“tidakkah
kau mendengar hambamu itu melontarkan kata-kata itu, seakan-akan dia yang
berkuasa di negerimu ini Tuhan” ucapku dalam hati sambil pergi mendekati rumah nenekku tepat di depan
rumahku, aku melelehkan air mata kesedihan, dengan gerakan semboyongan aku
menghampiri dan memeluk nenek sambil mengeluhkan kesedihannku.
“Nek, om
mengusirku dari rumah....”
nenekku terkejut, segeralah dia melepaskan
pelukanku saat itu dan berjalan mengampiri rumahku, entah apa yang dikatakan
nenek kepada ayah tiri yang aku panggil “om” saat itu, lalu ayah tiriku pergi
meninggalkan rumah yang di tinggalkan oleh ayah kandungku itu. relaian air
mataku, rasa kesal, marah dan benciku tak kunjung padam hingga mata sayu
tidurpun melupankan segalanya. Kejadian itu cukup menjadi kenangan pahit dalam
hidupku, dan itu menjadi motivasi hidupku untuk tidak melakukan dan melontarkan
kata-kata itu kepada siapa saja kelak.
Setelah beberapa tahun bergulir dalam
kesehariannku, hidup selelu di ambang kesesatan, tingkah aneh selalu ada yang
di lakukan sehari-hari. Kelakuan yang buruk seakan-akan tak mau pergi dari
kehidupanku semasa SMA, mulai dari bolos, nongkrong, bahkan minum-minuman
selalu hadir tak pernah alpa dalam buku absen hidupku saat itu, ocehan-ocehan,
sindiran hangatnya ditelinga tak ku pedulikan. Aku bahagia karena aku bisa
senyum dari pada aku terus menangis. Ya, merekalah teman-temanku pitong, doben,
sesa, nonok panggilan sehari-hari mereka itu, membuatku mengerti akan arti
hidup ini, menghabiskan waktu bersama, menghadapi kekerasan dunia, menerpa
badai kekejaman, melawan jutaan perompak yang ingin merampas hidup. Aku masih
ingat, pitong yang keinginannya keras menjadi orang nomor satu dijagat raya,
nonok ingin menjadi orang kaya nomor satu di dunia, doben yang ingin menjadi
orang ilmuan, sesa yang ingin merancang kehidupan ini jadi lebih baik, dan aku
menjadi penghancur orang-orang jahat seperti wiro sableng mejadi kekuatan kami
dalam menjalani hidup keras.
Dalam kegilaan-kegilaan yang sering kami buat
selalu menimbulkan dampak negatif dalam hidup kami sehari-hari, mulai dari
pergi ke kota setiap malam minggu menghabiskan uang ratusan ribu, merusaki
motor gara-gara jatuh, sampai hampir mencelakai anak orang lain, akibat ulah si
orang nomor satu di jagat raya “pitong”. Dia meninju anak cina tepat dibagian
kepala si anak cina itu, diakibatkan pencemaran nama baiknya oleh si anak cina
itu, dengan beberapa kali pukulan saat itu membuat kepala si anak cina itu oleng dan terpaksa di larikan ke RSUD
kabupaten oleh keluarganya, urusan itupun tak hanya sampai disitu, dari pihak
keluarga si cina itupun menuntut dari pihak pitong ke meja hijau. Namun
kekuatan berada di pihak kami, pencemaran nama baik adalah bukti yang kuat
dalalm masalah ini, pencemaran nama baik yang di kirimkan melalui pesan singkat
(SMS) itu menjadikan bukti yang membuat mereka tak berani berbuat apa-apa,
akhirnya masalah inipun terselesaikan melalui musyawarah keluarga keduadua
belah pihak.
Entah mengapa, semenjak kejadian yang menggemparkan
saat itu, orang-orang menjadi segan terhadap kami, terutama bocah-bocah junior
SMA, mereka semua diam melihat kegilaan kami, tak cukup hanya di situ, cerita
kegilaanpun muncul kembali pada saat pelajaran matematika di kelas XII IPA
kami. Bermunculan dari ide si bocah gendut Andi, mengajak kami untuk menrokok
di dalam kelas saat pelajaran berlangsung dan pada saat itu guru matematikanya
sedang berada di kantor, namun tak terduga, tiba-tiba bunyi sura pintu “ngeeeeeet”
perlahan dengan ditahan sedikit kerikil, membuat suasana mencekam,sedikit demi
sedikit pintu terbuka dan gembulan asap ridalam ruangan menjadikan suasana
tambah menegangkan, semuanya sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak satupun
memperdulikan apa yang bakal terjadi, dengan lirikan dan sepetu hitam mulai
kelihatan, “paaaaaaap” pintu mengenai dinding, suasana menjadi tegang dan semua
teman-teman yang merokok mukapun terpana dengan kesalahan, “semuanya ikut
kekantor...!!!, kecuali yang tidak ikut merokok.” Ucap guru matematika kecil
sekitar 160 cm itu, semuanya saling menyalahkan, ribut dalam kelaspun tak
terkendali, para wanita-wanita mengejek “siapa suruh merokok dalam kelas” ujar
salah satu wanita yang bernama ita.
Saat menghadap kekantor, kemahasiswaanpun
menghampiri kami, kami 12 yang tertangkap basah merokok saat jam pelajaran itu
semua pasrah dengan keputusan yang dilimpahkan kepada kami asal jangan di
keluarkan saja. Lalu dia memberikan hukuman kami semua yang berjumlah 12 kepala
di karantina di sekolah, semuanya sepakat.
Sore hari, kami bergegas hukuman sudah di mulai,
tenda, alat makan, alat masak, semua peralatan untuk menginap kami bawa, dan
mulai mengerjakan hukuman pertama.
Malam hari, sesudah maghrib dan berkemas kami di
panggil menggunakan lonceng besar bekas felk truk itu
“tiiinng......tiiiinnnggg.....” suara itu memanggil bak apel di hari senin,
namun keadaan saat itu malam, gelap, hanya di terangi lampu minyak tanah dalam
tenda saat itu, kami bergegas dan segera membereskan semua yang ada dalam
tenda. Saat itu, seorang guru yang berhasil tamatan dari malang, dan saya dengar-dengar
mantan kepala sebut saja MENWA (tentara kampus) memanggil dari kejauhan, dengan
suara lantang memanggil, “Wooooooooiiiii, langkahnya di percepat” tanpa
memperdulikan sendal bergegas kami berlari menghampiri tepat didepan lapangan
menghadap ke barat. Semua terdiam, seakan-akan ada tugas yang amat berat yang
akan kami tempuh malam itu. tak salah lagi dugaanku, kami 12 yang terjaring,
disuruhnya merayap sampai menuju lapangan voly berjarak kira-kira 25 meter.
Dengan pasrah kami menjalani hukuman pertama, tanpa memperdulikan kerikil,
kotoran debu-debu kuning yang ada, suasana malam mencekam, kami seolah-olah bak
prajurit tentara yang membawa senjata, melalui lembah, dengan gerakan cepat.
“aawwwwww” teriak salah satu temanku, Andi yang besar dan gendut itu, terkena
salah satu kerikil tepat pada bagian lengannya, dia berkata “aku tak mampu
menjalani hukuman seperti ini” lalu dia memohon ijin untuk tidak melalui
hukuman pertama itu, dia tak sanggup, dengan perasaan kasihan lalu dia langsung
di suruh pak guru mantan menwa itu duluan berjalan menghampiri lapangan voli
dan duduk. “kenapa kalian berhenti, lanjutkan!!!” ucap guru itu, tanpa
memperdulikan lagi si andi, kamipun langsung melanjutkan hukuman itu. setelah
sampai kami disuruh istirahat sejenak melepas kepenatan. Keringat, kotor, bau
amis tubuh tak ku pedulikan lagi. Lalu sosok guru mantan menwa itu memberikan
ceramah kepada kami, dengan diam tak satupun yang berani berbicara diantara
kami ber12 itu, cukup mendengar saja. Karena kelelahan dan kurang lebih 2 jam
duduk, kaku kakipun tak bisa di elak lagi, akibat banyak duduk bersila tanpa di
gerakkan kakikupun kaku, saat berdiri, aku merasa ada yang hilang dipersendian
kakiku, serasa ingin nangis, kenapa kaki tidak terasa lagi. Dengan gerakan
pincang dan kesakitan aku terjatuh seolah-olah tak ada lagi penopang kaki
sebelah kananku, dengan sigap guru mantan menwa sebutan pak paul menangkapku,
dan segera menjamahi dan meluruskan kakiku, perlahan rasa kaku itu mulai
hilang, pak paul berkata “kalau duduk bersila, jangan lupa kakinya di
gerak-gerakkan, biar tidak kaku seperti ini, pelajaran bagiku.
Malam kedua, kami kekurangan pasukan entah karena
tertembak atau pergi, dan kami tersisa 11 orang, siapa lagi kalau bukan si Andi
itu, dia pergi dari lingkaran pasukan anak-anak edan seperti kami, kamipun tak
mengerti apa yang menyebabkan anak itu pergi entah kemana, “jelas, sekarang
kalian sudah tinggal sebelas, tadi ibu si andi datang dan menjemput anaknya
dari lingkaran kalian” kata pak paul. Suasana di dalam ruangan menjadi kaku
kembali, “malam ini, kalian akan diberikan pencerahan, renungan, agar kalian
bisa memaknai hidup” pak paul menyambung kata-katanya yang tadi. Dengan ditemani
lilin empat kami berada di dalam ruangan kelas yang berangkakan sepuluh B pada
saat itu, lilin di matikan merubah suasana bak di tak ada penerangan
sedikitpun, semua tempat masuk cahaya tertutup oleh beberapa dinding
penghalang, kami membentuk lingkaran dengan berpegangan tangan. Tepat pukul
20.00 WIB saat itu hanya terdengar bunyi-bunyi jangkrik dan suara kodok entah
dimana tak jelas suaranya, malam yang gelap kala itu menjadikan suasana yang
pas menyadarkan kami semua dari kebodohan, kegilaan yang kami buat berdampak
positif bagi kehidupan masa datang. Terdengar bunyi jam tanganku berdetak bak
suara-suara jantung yang sedang damai, “teeek .... teeek.... tek....” ku
hidupkan lampu jamtanganku berwarna hijau dan menunjukkan pukul 21.07 WIB tepat
malam jum’at kala itu, dengan posisi berdiri kami membentuk lingkaran kata
perkata yang di lontarkan pak paul, tiba sampai pada titik pencerahan yang
sebenarnya.
“Viktor (pitong),,,,kamu tahu, ayahmu setiap jam
empat subuh, selalu menyadap karet sebelum mengajar jam tujuh..?? ibumu setiap
jam tiga subuh selalu bangun dan mempersiapkan apa yang harus di persiapkan
untuk jualan setiap pagi, sedangkan kamu sedang tidur pulas, seenaknya
kamu....”
Kata pak paul dan mulai menghampiriku, pitongpun
mulai mengeluarkan suara mendengu, “ku rasa pitong menangis” bisikku dalam
hati, tak pernah ku duga suara kotoran yang keluar dari hidungnya seakan akan
dia menyesali tingkahnya selama ini. “took” bunyi langkah pak paul melangkah ke
arahku kebetulan aku tepat disampiang kanan pitong saat itu.
“anto dengan
melekatkan tangannya ke pundakku, apa
kamu tidak melihat kegigihan ibumu menyekolahkanmu, merawatmu dari kecil,
menanamkan nilai moral kepadamu, ingat!!! Ibumu disana pasti sangat menyesali
perbuatanmu, dia pasti kecewa, dengan tingkahmu”.
Kata pak paul menyadarkanku, entah mengapa
kesadaran itu tak kunjung membuatku sedih, tak sedikitpun air mataku menetes
pada saat itu, tidak seperti teman-teman lain, yang meneteskan air matanya,
seakan-akan air mataku tertahan, ada bisikan bahwa aku tidak boleh menangis
kalau tetap melakukan hal yang sama percuma saja menangis saat ini, karena
menangis bukan sesuatu yang bisa menenangkan, pada saat itu akupun merasa
bersalah kepada diri ini, aku merasa tak lengkap teman-temanku menangis semua,
sedangkan aku hanya diam.
Suasana berubah menjadi pilu kala itu, semuanya
mengeluarkan air mata penyesalan dan tak termasuk aku.
Pagi
sebelum jam masuk sekolah kami diwajibkan membersihkan lingkungan sekolah,
menjadi ajudan sekolah. Senangnya hati kami, kami selalu dipercaya menjaga dan
merawat sekolah, saat itu guru tak lagi repot-repot merajia anak-anak yang
masih nongkrong di kantin saat jam masuk di mulai, kami selalu siap menjalani
tugas harian kami.
Kepercayaan gurupun mulai timbul, guru-guru bisa
lagi tersenyum. Mungkin mereka merasa ada yang menjadi pahlawan sekolah kita
sekarang, dan sekolah kita akan tertib kembali, dengan kepala gundul dengan
tinggi rambut kira-kira 2 cm kami sebelas bak prajurit di masa 45 dan siap
membasmi para penjahat yang ingin menguasai daerah kepulauan Indonesia, ya
kepulauan SMAN 1 Kayan Hilir, begitu maksudku.
Tak terasa, 7 hari yang seharusnya kami menjalani
hukuman, namun pada sore hari, pak paul kembali memukul lonceng yang bobotnya
sekita 20 kg itu “tinnng..... ttiiiing.....tingg....” tandanya memanggil dan
menyuruh kami berbaris menghadapnya ke barat. Dia mengumumkan, “karena kelakuan
kalian sudah berubah, maka hukuman kalian yang seharusnya 1 minggu bapak
kurangi menjadi sampai hari ini saja, dan kalian boleh berkemas-kemas pulang
kerumah masing-masing, dan ingat!!! Lakukan perubahan sekaran., silahkan!!!”
katanya. Dengan perasaan girang kamipun berteriak
“woooooooooooooooooowwwwww woooooowwww,
hahahahahaha”
Aku mengucapkan “terima kasih pak” dan di ikuti
dengan ciuman tangan. Serasa bebas dari tahanan 10 tahun, dan aku akan kembali
menghirup udara bebas begitu juga teman-teman yang lain ku rasa. Amin fikirku
dalam hati.
Setelah keluar dari hukuman, tingkah kamipun 100%
berubah, dari yang dulunya nakal, hura-hura, menjengkelkan, sekarang berubah
drastis, pak paul senang dengan perubahan kami, dia bangga mempunyai kami,
begitulah kata-katanya yang masih ku ingat sampai saat ini. Namun lama laun,
kelakuanpun menjadi kembali tak normal, sebagian dari teman-teman yang
tertengkap basak kala itu mulai menjadi sosok orang yang tak baik lagi, mereka
kembali ke kehidupan mereka yang dulu, “sungguh, air mata buaya” terbisik dalam
hatiku, hanya kami berlima sahabatku yang tetap pada posisi dan lingkaran
sadar, kami berusaha menyadarkan teman-teman yang kembali ke jalan yang tidak
baik itu, namun apa daya tangan tak sampai. Cukup saja kami sebagai teman
menyadarkannya, kesadaran yang sebenarnya terletak di diri mereka
masing-masing.
Kejadian itu berdampak baik bagi kehidupanku,
selesai SMA saat itu, aku tak niat ingin melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi, alasanku hanya satu “masih capek
gara-gara selesai SMA, mau cari uang dulu dan tidak mengandalkan penghasilan
orang tua untuk masuk ke perguruan tinggi”. Apapun aku lakukan asal bisa
menghasilkan uang, sebut saja ikut kerja mencari mas di tempat paman, belajar
sekaligus membantu paman bertukang membuat rumah nenek kedua, ikut mengukur
jalan dari kecamatanku ke kecamatan sebelah tanpa seikitpun aku takut panas
menyengat kulitku yang tipis ini. Semuanya aku lakukan demi cita-citaku, namun
apa daya nasipku berkata lain, cita-citaku menjadi seorang perawat tak
kesampaian, dikarenakan danaku saat itu kurang pada tahun 2010 dan aku memutuskan
untuk menunggu 1 tahun lagi. Keputusan terakhir saat menginjak dekat-dekat
pendaftaran mahasiswa baru tahun angkatan 2011 aku berniat menuntut ilmu
kenegeri seberang, dimana tempat perguruan tinggi itu terletak di pulau jawa
tepat di Jawa Timur kota Malang. Ya tepat pada Universitas Kanjuruhan Malang,
sebut saja UNIKAMA disitulah guru yang bernama pak paul tadi menempuh
pendidikan di perguaruan tinggi. Aku berniat mengikuti jejak langkahnya.
Jarak
aku antara antara teman-temanku sangat jauh, pitong dan doben berada di ibu
kota apalagi kalau bukan Jakarta, sedangkan temanku sesa melanjutkan sekolah di
kota Kabupaten kami, dan si nonok yang ingin kaya di dunia itu sekarang sudah
membuka usaha kecil-kecilan dengan bermodalkan pengalamannya dan mimpinya dia
sekarang di kenal di kampungnya. Sebenarnya dia juga melanjutkan ke perguruan
tinggi, namun cita-citanya terhenti di akibatkan ada kecelakaan karena
kebodohannya di masa-masa sebelum berangkat menginjak bangku kuliah.
Jarak ribuan kilometer, hanya berkomunikasi lewat gelombang
suara ditelepon genggam (HP) kami sering bercerita, menyampaikan keluh kesah,
selama berada di malang dan menuntut ilmu, tak ada satupun sahabat yang setia
seperti teman-temanku berempat itu, setia di saat dan dalam kondisi apapun,
senang susah, sedih kami jalani bersama. Yang ada teman hanya ingin dipihak
kita di saat kita senang-senang saja dan tak lagi berada di pihak kita saat
sedih, mereka tek akan pernah terbantikan, wajah-wajah yang terkenal di sekolah
saat itu, bahkan di masyarakat juga mengenal kami karena keburukan tingak kami
dahulu, tak lagi bisa aku lihat, hanya dapat mendengar suara mereka dari
telepon genggam dan pesan singkat (SMS) saja.
Mengingat
akan hal itu, membuatku menjadi sedih. Tak lagi kami bisa melepas kerinduan
disaat rindu seperti ini. Biasanya kami selalu tertawa bersama, nakal bersama.
Namun, semua itu masa lalu yang tak akan mungkin lagi terulang, cukup menjadi
cerita terindah dan mungkin tak akan ku ceritakan kepada anak-anakku kelak, aku
takut cerita itu berdampak buruk bagi anak-anakku kelak.
Disela
kesibukan-kesibukan kuliahku, rintangan silih berganti. Dari hal kecil sampai
rintangan yang begitu besar bak lautan luas yang harus ku seberangi dengan
bermodalkan pelampung mungil dengan menerobos segala ikan-ikan paus yang siap
menerkam badanku yang mungil kapan saja. Namun rintangan seperti itu selalu ku
hadapi, walau dompet tinggal seribu.
Pintu
sudah terbuka untukku meraih kesuksesan, tapi mengapa begitu sulit jalan menuju
pintu itu, selain penghalang, dari segi materi sering kali membuat air mataku
menetes berderai. Masih ingat pada masa kecil, ayah kandungku selalu memberikan
apapun kemauanku, tapi masa itu terlalu cepat berlalu. Masa di mana aku merasa
bahagia dengan keluarga, riang wajah ibuku selalu menemani hari-hariku yang
kini semuanya telah musna. “ini semua gara-gara ayah kandungku mencari istri
baru” teganya dirimu membuat anandamu ini merasakan kepedihan di- perantauan.
Meskipun aku tak mempunyai lagi sosok orang yang selalu memperhatikanku,
setidaknya Ibuku lebih hebat dari padanya, ibu yang selalu ada di saatku
bersedih dan mengeluh kesahku.
Rasa
ketidakpuasan itu merasuki ayah kandungku semenjak aku berumur empat tahun,
masih ingat kala itu, ibu yang selalu mengayomiku kemanapun ayahku pergi, tak
banyak kata dia selalu senyum bak tak ada beban dalam hati dan fikirannya, truk
biru berbak besi biru nampak agak kusam itu selalu di kendarai ayahku kemanapun
dia pergi kala itu. karena resah ibu selalu mengikuti kemanapun ayahku pergi.
Sungguh
tak sedikitpun menghargai kerja keras ibunda, ayah selalu saja seenaknya
kemanapun, sering ibu menemukan surat cinta dalam laci truk terletak bagian
atas dekat spion truk itu, apalagi kalau bukan surat cinta dengan
selingkuhannya. Saat membaca ibu hanya diam dan meneteskan air mata
kesedihannya. Entah apa saja isi dalam kertas-kertas berwana-warni itu, aku tak
mengerti. Tanpa ketahuan oleh ayah ibuku menyimpan baik-baik selembar demi
selembar dilipat rapi seolah-olah tak pernah ketahuan kalau surat-surat itu
telah ibu baca.
Setelah
beberapa tahun selang kejadian itu, karena merasa tak mampu lagi dengan tingkah
bodoh ayahku, ibu mulai mersa bosan dan melaporkan kejadian-kejadian yang
sering di alaminya kepada kakek, aku hanya dapat mendengar bisikan-bisikan
dalam ruangan sunyi malam, tanpa aku bisa artikan percakapan ibu bersama kakek.
Tanpa mengulur-ulur waktu, siangnya kakekpun
memanggil beberapa para pakar hukum adat di daerahku kala itu, sebut saja para
temenggung. Setelah ayah datang dari kerjanya di temani truk biru yang kusam
itu, segeralah kakek memanggil ayahku dari kejauhan rumah kakek dengan rumahku,
“toooo, kau kesini dulu” begitu ku dengar, kulihat muka kusut dengan sangat
malas ayah menjawab “iya pak, sebentar lagi aku ke situ”. Entah apa yang
dilakukan oleh kakek, dan para temenggung-temenggung pada siang hari itu, aku
tak melihat dan mendengarkan karena kesibukanku bermain. Seketika itu ayah
mengusap pundakku dan berkata “kamu baik-baik ya to di sini, nanti ayah sering
main-main lagi kesini” dengan muka murung dia mengatakan hal itu kepadaku tanpa
alasan yang tak ku ketahui ayah meninggalkanku. Dengan tangis mendengu-dengu
aku tak ingin melepaskan tangan ayah “ayah.....ayah....ayah mau kemana? Aku
ikut ayah....ayah kemana?” namun ayah tak menjawab pertanyaanku segera dia
meleparkan jaket kulitnya yang berwarna hitam agak lusuh itu kedalam truk dan
di hidupkannya mesin truk itu, tanpa memperdulikanku dia segera membelokkan
truk ke arah jalan. Ku melihat air mata yang menetes saat ayah pergi, rasa
penyesalanya membawanya pergi, genggaman ibu tak kuat ku lepas, dengan tangisan
dariku dan ibu ku lepaskan ayah pergi membawa sejuta kenangan yang selalu ku
ingat.
“Bu.....buuu,
ayah mau kemana? Kenapa ayah meninggalkanku?, aku mau ikut mobil ayah” begitu
ucapku kepada ibu sambil mengeluarkan air mata yang tak henti dan penyesalan
kepada ayah yang meninggalkanku bersama ibu.
Kejadian
itu selalu ku kenang sampai kapanpun, sering ayah mengajakku bersamanya dengan
di iming-imingi sebuah sepeda, namun semua itu tak membuat hatiku luluh begitu
saja, rasa sesalku kepada ayah yang meninggalkanku dan ibu saat itu.
Sampai
saat ini, ayah selalu menanyakan kabarku, dan bagaimana kuliahku, serta tak
henti-hentinya mengajariku arti hidup. Entah mengapa kata-katanya jarang ku
percaya dan ku pakai dalam kehidupanku sampai saat ini, pernah dia berjanji
akan membelikan aku motor pada saat aku SMA, namun kenyataannya tak ada,
jangankan motor uangpun tak ada sampai di genggamanku kala itu. tidak
bertanggung jawab. Sifat yang harusku jauh-jauhi dari kehidupanku.
Mengenang
semua itu, teriris hati. Sayatan yang masih membekas dalam hati ini tak kunjung
sembuh sudah beberapa tahun lamanya, kepiluan, sesal semuanya sudah
menjadi-jadi dalam darah dan dagingku.
Dipersembahkan Untuk : Mama, dan Sahabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar